Source: freewallpaper.com |
Bukan, saya bukan ingin nulis soal ibadahnya. Karena Puasa itu ibadah paling intim antara hamba dan Allah. Tak ada yang tahu. Begitu rahasia dan mesranya.
Saya juga tidak ingin ikut ribut dan memperpanjang soal shalat tarawih yang 8, 11, 36 atau 42. Semua ada dalilnya, ada landasannya. Toh untuk ibadah sunat itu adalah pencapaian pribadi kita untuk mendekat pada Allah. Bukan untuk dibenarkan atau dinilai orang.
Saya ingin menulis tentang hal-hal kecil yang dulu menyemarakkan hari-hari ramadhan. Yang mungkin sekarang sudah tak ada lagi, sudah hilang dimakan waktu, atau hilang digerus gengsi, atau tak dilakukan lagi karena sudah tahu itu 'tak baik'. Bukan hal yang penting bagi orang lain, tapi cukup penting untuk saya, untuk dikenang.
1. Menandai Jam
Ujian paling berat bagi saya ketika kecil adalah menunggu waktu berbuka. Rasanya semakin sore, jam itu jalannya makin lambat. Akhirnya karena bosan bolak balik melihat jam lalu menghitung-hitung, saya ambil jalan pintas. Menandai menit waktu berbuka dengan spidol.
Kenyataannya, saya tetap saja bolak balik melihat jam. Setelah dewasa baru sadar seharusnya saya pasang alarm saja.
2. Makan Siang Di Rumah Nyak Chik.
Sebagai cucu, saya tahu kedua nenek saya sangat menyayangi kami, para cucunya. Diantara kedua nenek saya itu, Nyak Chik, mamak dari ayah saya rumahnya yang paling dekat. Satu hari, karena sangat lelah, saya nekad pergi ke rumah nyak chik, sepulang sekolah, saat itu saya masih SD. Tujuannya jelas, dengan mengandalkan kasih sayang, tentu nyak chik tidak akan melapor ke ayah, kalau saya sudah buka puasa.
Semuanya berjalan lancar. Saya makan siang, kembali segar. Lalu pulang kerumah. Menjelang buka puasa tiba-tiba nyak chik datang, dan membawa rantang. Isinya sambal kacang dengan kecap. Kesukaan saya.
Saya menerimanya dengan gembira. Dan tepat ketika saya berbalik, saya mendengar nyak chik berkata kepada ayah "Tadi siang lahap betul dia makan dengan sambal itu, makanya mamak bawa lagi."
3. Uji Kesabaran
Ketika saya SMP, siang hari sering kami habiskan duduk sambil membaca komik yang kami rental. Tempat nongkrongnya, garasi rumah Taufik, teman saya sejak TK. Salah satu hal yang kami lakukan selain baca komik adalah uji kesabaran. Bukan dengan saling cela, tapi dengan menyebutkan makanan yang enak dimakan.
"Siang begini, enaknya minum sirup oren pakai es. Apalagi sambil makan bakso tok, kuahnya dikit aja, banyakin saos ma kecap."
4. Meriam Karbit.
Tidak tahu kapan mulainya, tapi kami punya kebiasaan membuat meriam karbit di 'hutan' bak dah, atau batang obor di belakang meunasah. Malamnya, selepas tarawih, suara tembakan meriam karbit bersahutan antar kampung.
Satu malam, saya lupa siapa yang punya ide. Kami meledakkan meriam karbit ketika shalat tarawih masih berlangsung. Tidak susah untuk tengku mencari tahu siapa pelakunya. Cukup melihat yang tak hadir shalat tarawih di shaf anak-anak.
Kami kena hajar dengan tongkat rotan. Selama seminggu kami susah duduk mengaji, dan tengku selama seminggu pura-pura tak perduli kopinya selalu asin. Untuk menemukan pelaku penabur garam, agak sulit, karena kami belajar dari pengalaman. Ajaklah teman yang paling tidak dicurigai.
5. Mercon Catur Bersumbu Panjang
Salah satu yang paling mengesalkan kami ketika anak-anak, adalah sekelompok bapak-bapak pensiunan mantan pejabat kantoran, yang setiap malam sehabis tarawih selalu duduk berkumpul sambil menyantap hidangan kue. Dipisahkan dari menu kue berbuka, dan sebenarnya untuk kami, yang tadarus. Hasilnya ketika tadarus kami hanya kebagian kue yg sisa, atau yang menurut kami tidak enak. Maklumlah, yang namanya risol, bakwan, tahu isi, selalu habis.
Karena berteman dengan pedagang petasan di pasar, dan sering ngobrol dengan mereka sepulang les bahasa inggris, saya jadi tahu cara membuat sumbu dengan bahan benang cap kuda.
Akhirnya kami sepakat membalas bapak-bapak itu (namanya juga anak-anak). Berbekal seikat mercon catur, dan sumbu yang panjang terulur sampai keluar jendela. Kami menunggu, hingga bapak-bapak itu duduk kumpul dengan gembira, dan menyulut mercon. Ketika mercon meledak, kami sudah dirumah masing-masing.
Kata teman yang melihat, seru melihat bapak-bapak itu berlompatan.
6. Patroli Sahur.
Setiap menjelang sahur, sekitar dua jam sebelumnya, dengan berbekal tongkat kami berjalan keliling kampung. Mengetuk pagar dan tiang listrik, dengan irama teriakan yang khas. "Sahuuuur sahur" ketuk pagar/tiang listrik tiga kali pendek dan cepat, lalu lanjut teriak lagi "Sahuur, sahur."
Kalau sampai ke rumah yang anaknya menyebalkan atau bapaknya sering memarahi kami, biasanya ketoknya agak sedikit lama dan diperkeras.
7. Dorong-dorongan saat tarawih.
Namanya juga anak-anak. Kadang-kadang ide kreatifnya terlalu banyak. Saat sedang tarawih, entah siapa awalnya, tapi mulai main dorong-dorongan. Dorong ke kanan, kemudian dorong ke kiri. Dibalas lagi, dorong lagi. Keasyikan main dorong dorongan tidak sadar satu kawan mendadak maju. Hasilnya semua ambruk berjatuhan.
Bisa ditebak, selepas salam, ibu-ibu di belakang kami pada mengangkat kain pembatas sambil ngomel-ngomel.
Memang ini bukan hal baik, tapi kenangan begini, adalah kenangan yang selalu bikin senyum sendiri ketika kita dewasa. Kata teman, kalau punya kenangan begini, artinya masa kecil kita ceria.
wah aku cuma ngelakuin point no 1 aja waktu masih kecil :)
ReplyDeleteMasa kecil anda bahagia :D
DeleteAku gak banyak yed karena aku anak cewek dan anak yang pendiam :D
ReplyDeleteLho mas fardelyn ini cewek ya? :D
ReplyDeleteJahil juga rupanya bg said waktu kecilnya ya! hahaha :D
ReplyDelete